Langsung ke konten utama

PROBLEMATIKA PENERAPAN KLAUSULA PILIHAN FORUM DALAM PERSPEKTIF LEX INFORMATICA




Lex Informatica” adalah salah satu istilah yang menunjuk pada hukum yang digunakan untuk mengatur kegiatan di dalam dunia maya (melalui media internet), istilah lain yang juga sering dipergunakan untuk menunjuk perangkat hukum ini adalah cyber law, the law of internet, the law of information and technology, atau the telecommunication law[1].

Pola interaksi manusia mempengaruhi pola transaksi perdagangan, kini telah lazim transaksi perdagangan dilakukan melalui internet, yang dalam beberapa literatur sering disebut dengan e-commerce[2]Transaksi ini memiliki karakteristik khusus (borderless) dan memiliki implikasi hukum yang juga khusus, dan membedakannya dengan transaksi transnasional konvensional. Transaksi semacam ini berkaitan erat dengan peran Hukum Perdata internasional[3] sebagai seperangkat kaidah-kaidah hukum nasional yang digunakan untuk menjawab persoalan-persoalan hukum yang timbul dari adanya unsur-unsur asing (foreign element) dalam peristiwa atau hubungan hukum. Persoalan dalam kontrak internasional[4] berkaitan dengan 3 pokok persoalan HPI, yaitu yurisdiksi, pilihan hukum, pengakuan dan pelaksanaan putusan hukum asing[5] yang merupakan titik penting dan relevan dalam transaksi yang bersifat transnasional.

Dalam rangka mengantisipasi 3 persoalan utama dalam HPI tersebut, maka dalam praktik dan berbagai literatur diketemukan anjuran untuk menerapkan klausula pilihan forum dan atau pilihan hukum, yang bila diamati ternyata ditemukan klausul-klausul ini diterapkan juga dalam transaksi e-commerce dan dituangkan dalam kontrak[6] yang sering disebut dengan e-contract[7], Padahal karakteristik e-contract dalam e-commerce bersifat borderless sedangkan transaksi transnasional konvensional bersifat  cross border, perbedaan ini akan berdampak terhadap posisi yang berbeda bagi para pihak dalam upaya memperjuangkan hak-hak kontraktual yang sah. 

Apakah penerapan klausula – klausula yang semula digunakan dalam kontrak sebagai antisipasi terhadap persoalan HPI tepat untuk diterapkan juga dalam e-contract ?
Berkaitan dengan persoalan ini, penting untuk digaris bawahi mengenai jenis dari e-contract itu sendiri dalam perspektif praktis, yang diantaranya terdapat e-contract yang dikategorikan sebagai shrink wrap contract  dan click wrap contract[8]. Tanpa bermaksud mempersamakan ataupun membedakan implikasi dari kedua jenis kontrak dimaksud, kedua jenis e-contract ini disebut hanya untuk menegaskan pokok bahasan dalam tulisan ini yang lebih fokus kepada e-contract yang dikategorikan click wrap contract dan disusun secara baku (standar/adhesi)[9] antara pelaku usaha dan konsumen akhir (transaksi bisnis dengan konsumen) yang berunsur  asing. Karena itu, untuk selanjutnya istilah e-contract dalam tulisan ini digunakan untuk menunjuk pada kontrak yang memiliki ciri-ciri berikut :
1.      kontrak baku ;
2.      dibuat secara elektronis ;
3.      berunsur asing (foreign element) ;
4.      termasuk click wrap contract ;
5.      transaksinya bersifat bisnis-konsumen.
Dalam praktiknya, Kesepakatan untuk melakukan transaksi dalam kontrak click wrap diatas, dianggap terpenuhi hanya dengan melakukan 2 hal utama, yaitu pertama: menyetujui terms and condition (dengan cara melakukan klik pada kolom “menyetujui/ agree ”) dan kedua: melakukan pembayaran.
Perubahan media kontrak dari tradisional menjadi elektronis, pada dasarnya  sampai saat ini tetap mengacu pada asas dan prinsip hukum kontrak tradisional untuk keabsahan-nya.
Berangkat dari kondisi yang secara potensial dapat mengakibatkan akses terhadap keadilan dalam situasi ini bagi para pihak menjadi tidak berimbang, sepertinya adalah relevan bilamana disadari kembali bahwa asas dan prinsip dalam hukum kontrak disusun dan diterima, untuk memberikan perlindungan hukum kepada para pihak dalam melindungi harapannya yang sah, karena itu kontrak yang disepakati secara sah harus mampu memberikan akses/posisi yang juga seimbang bagi para pihak yang mengikatkan diri untuk dapat memperjuangkan harapan kontraktualnya yang sah dengan sewajarnya (reasonable). Padahal seringkali pada kenyataannya nilai kontrak ternyata tidak sebanding dengan forum yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan persoalan, sehingga pihak yang berada dalam kondisi ini “terpaksa” memilih untuk tidak memperjuangkan hak-hak kontraktualnya.

Sekalipun perlu diakui, dalam kenyataannya terdapat kontrak yang dapat dikualifikasikan tidak berimbang, namun kenyataan tersebut tidak dapat menafikkan bahwa pada dasarnya kontrak disusun dengan keinginan menciptakan posisi yang relatif seimbang dan pasti bagi para pihak atas harapan kontraktualnya yang sah, karena itu, posisi yang tidak seimbang dalam e-contract sebagai akibat dari perumusan kontrak baku dan unsur asing  patut  dicermati. 

Kondisi ini seyogyanya menjadi perhatian pemerintah, akademisi, pelaku usaha, dan praktisi guna mencapai kesamaan perilaku dan pemikiran. Perubahan media dan teknologi ditujukan untuk mempermudah dan membantu manusia, perubahan media dan teknologi ataupun efisiensi tidak boleh menjadi alasan untuk memangkas nilai-nilai (incasu harapan-harapan kontraktual yang sah), Jadi jika kemajuan teknologi mengakibatkan  kontrak yang dibuat secara sah tidak mampu mengalokasikan akses yang adil dan berimbang kepada para pihak untuk memperjuangkan harapan kontraktualnya yang sah, maka sudah saatnya untuk kembali mencari jawabannya dalam prinsip dan asas yang mendasarinya.


[1] Lihat : E.Saefullah Wiradipraja/Danrivanto Budhijanto, Perspektif Hukum Internasional Tentang Cyber Law, seri dasar hukum  ekonomi 12, Cyber Law suatu pengantar.hlm 89, Elips II, 2002.
[2] Lihat :Isis Ikhwansyah, prinsip-prinsip universal bagi kontrak melalui e-commerce dalam sistim hukum pembuktian perdata dalam teknologi informasi, seri dasar hukum ekonomi 12, Cyber Law suatu pengantar.hlm 28, Elips II, 2002
[3] Bayu Seto , Lex Mercatoria baru dan arah pengembangan hukum kontrak indonesia di dalam era perdagangan bebas tinjauan singkat tentang kedudukan hukum perjanjian nasional dan prospek pengembangannya dalam konteks harmonisasi hukum kontrak di kawasan asean, Aspek Hukum dari Perdagangan bebas, hlm.82, Citra Aditya Bakti, Bandung 2003.
[4] Defenisi kontrak internasional
[5] Ibid 82
[6] Black Laws Dictionary,
[7] Defenisi e-contract
[8] Defenisi shrink and click wrap
[9] Defenisi kontrak standar


Komentar

Postingan populer dari blog ini

APA YANG DIMAKSUD DENGAN PEMERIKSAAN SILANG (CROSS EXAMINATION)

Penyelesaian suatu persoalan hukum di hadapan pengadilan harus diukur sejak awal mula proses pemeriksaan tersebut dimulai. Proses pemeriksaan harus dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum acara sejak awal sampai akhir ( due process of law ), sebab pengadilan seyogyanya dapat mewujudkan “ Pengadilan yang adil’ sebagaimana dicita citakan dalam suatu negara hukum. Faktanya banyak kisah – kisah dalam persidangan yang menunjukkan kepada kita, tentang seseorang yang tidak bersalah namun terpaksa harus menderita, hanya karena dalam prosesnya pengadilan salah dalam menilai bukti – bukti yang ada, misalnya karena terkadang saksi diliputi keadaan yang penuh emosi dan prasangka ( hunch )  yang berlebihan, sehingga di dalam kondisi seperti itu, terdapat kemungkinan keterangan yang dikemukakan saksi terkadang mengandung unsur kebohongan maupun kepalsuan. Berangkat dari hal sebagaimana terurai diatas, tidak berlebihan jika sebagian orang berharap dan merumuskan  “ pengadilan yang...

KAPAN HARTA PENINGGALAN DAPAT DIBAGI

  Pertanyaan tentang kapan harta peninggalan pewaris terbuka atau   meluang? Pertama disampaikan bahwa arti dari Harta Peninggalan dianggap terbuka atau terluang adalah harta peninggalan tersebut siap untuk dibagi. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka kita harus kembali memperhatikan ketentuan yang diatur dalam Pasal 833 ayat ke-1 KUHperdata yang berbunyi sebagai berikut : “ Sekalian ahli waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak dan segala piutang si yang meninggal. ” Ketentuan pasal 833 KUHperdata mengandung asas yang dikandung dalam KUHPerdata bahwa saat seseorang meninggal dunia, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih kepada ahli warisnya. Hak tersebut dikenal dengan saisine atau hak saisine, yang merupakan wujud dari asas yang dikenal sebagai   le mort saisit le vif   yang artinya orang yang masih hidup menggantikan kedudukan orang yang meninggal dunia / ahli waris me...