Pengaturan
tentang Waris dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (selanjutnya dalam
tulisan ini akan disebut KUHPerdt) diatur dalam Buku II KUHPerdt. Di
Indonesia, sampai saat ini belum ada Unifikasi di bidang Hukum Waris. Ketentuan
tentang Hukum Waris di Indonesia, ada yang diatur dalam Hukum Waris Islam, Hukum
Waris Adat, dan Hukum Waris KUHPerdt. Didalam tulisan ini yang dimaksud
dengan Hukum Waris adalah Ketentuan Hukum Waris dalam KUHPerdt.
Mengingat
berlakunya 3 sistim hukum waris di Indonesia, maka Ketentuan dalam Hukum antar
golongan yang telah mengatur bahwa “ Hukum yang berlaku dalam Pewarisan adalah
Hukum nya Pewaris (orang yang meninggal dunia), menjadi penting diperhatikan
terlebih dahulu, karena akan menjadi penentu dasar dalam menentukan hukum waris
yang mana yang akan berlaku dalam hal terjadi pewarisan.
Kitab
Undang – undang Hukum Perdata, terdiri dari 4 buku , yaitu :
1.
Buku I : tentang Orang
2.
Buku II : tentang Kebendaan
3.
Buku III : tentang Perikatan
4.
Buku IV : tentang Pembuktian dan Daluwarsa
Hukum
Waris diatur dalam Buku II KUHPerdata tentang kebendaan, karena KUHPerdata mengkualifikasikan Hak waris sebagai
suatu cara untuk memperoleh hak milik atas kebendaan, hal ini secara eksplisit
dapat diketemukan dalam ketentuan pasal 584 KUHperdata yang berbunyi
sebagai berikut :
“
Hak milik atas suatu kebendaan tak dapat diperoleh dengan cara lain, melainkan
dengan pemilikan, karena perlekatan, karena daluwarsa, karena pewarisan, baik menurut undang –
undang, maupun menurut surat wasiat, dan karena penunjukan atau penyerahan
berdasar atas suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik, dilakukan
oleh seseorang yang berhak berbuat bebas terhadap kebendaan itu. “
( garis bawah oleh
penulis )
Kitab
Undang – undang Hukum Perdata Indonesia, pada asasnya sama dengan B.W. Belanda
(sebelum B.W. Belanda diubah) yang berasal dari Code Civil Prancis,
karena itu tidak mengherankan jika ternyata bunyi Pasal 584 KUHperdata ternyata
adalah tiruan dari Pasal 711 Code Civil Prancis. [1].
Penyusun
Code Civil Prancis, memandang hukum waris sebagai peraturan yang mengatur
mengenai pemindahan kekayaan dari yang meninggal kepada pihak lain.
Itulah sebabnya di dalam Code Civil, Hukum waris ditempatkan dalam buku ketiga,
yakni bagian yang mengatur tentang cara memperoleh hak milik.
Pandangan
yang mengkualifikasikan hak mewaris seolah – olah sebagai hak kebendaan, adalah
pengaruh dari hukum romawi. Di dalam Hukum Romawi, harta peninggalan dianggap
sebagai suatu benda yang khusus (tidak bertubuh), karena itu dengan
meninggalnya pewaris maka kekayaannya akan menjadi satu kesatuan, dan terhadap
harta kekayaan itu para ahli waris mempunyai hak kepemilikan bersama yang
bebas, sedangkan dalam hukum Germania tidak ada pandangan bahwa harta
peninggalan dianggap sebagai suatu benda tersendiri, dan ahli waris tidak
mempunyai hak kebendaan khusus, para ahli waris mempunyai hak kepemilikan
bersama yang terikat.[2]
Suatu
hak kepemilikan bersama,
dikualifikasikan sebagai hak kepemilikan
bersama yang bebas jika pemilik
sewaktu – waktu dapat menuntut pemecahan hak milik bersama. Sebaliknya
dikualifikasikan sebagai hak kepemilikan
bersama yang terikat, jika timbul
sebagai akibat dari adanya hubungan hukum antara mereka yang mempunyai hak
bersama tersebut.[3] (huruf tebal
oleh Penulis).
Beberapa
Sarjana memiliki pandangan yang berbeda, dalam pandangan mereka Hak Waris tidak
tepat dikualifikasikan sebagai Hak Kebendaan karena yang diwariskan adalah
aktiva dan passiva (Hak dan Kewajiban), demikian juga dengan Pitlo yang
beranggapan pengaturan waris dalam KUHPERDT adalah rancu, kerancuan ini
menurutnya terjadi karena dipengaruhi oleh 2 sistem hukum (Romawi dan
Germania). Pitlo berpendapat sejarah tentang pengaruh hukum Romawi dan
Germania, perlu diketahui, karena dengan mengetahui sejarahnya diharapkan dapat
mencari solusi untuk memecahkan kerancuan yang terjadi. Pandangan yang
mengkualifikasikan pewarisan sebagai cara untuk memperoleh hak milik sebenarnya
kurang tepat, karena di dalam proses pewarisan yang beralih bukan hanya hak
milik saja, tetapi juga hak – hak kebendaan lain, disamping juga kewajiban –
kewajiban yang termasuk dalam hukum kekayaan[4]
Singkatnya,
Pitlo berpendapat bahwa Hukum Waris sekalipun merupakan bagian dari hukum
kekayaan namun berkaitan erat dengan hukum keluarga, karena itu menempatkan
hukum waris sebagai hak kebendaan sebagaimana diatur dalam Buku II KUHperdata
adalah tidak tepat, sebab Hukum Waris seharusnya memiliki kedudukan / tempat
tersendiri.
Terlepas
dari segala perdebatan antara para ahli hukum, secara faktual ketentuan hukum waris
dalam KUHPerdt sampai saat ini masih berlaku, dan mengingat belum ada
Unifikasi hukum di bidang Hukum waris, sehingga masih dikenal adanya 3 sistim
hukum waris yang berlaku di Indonesia, yaitu sistim Hukum Waris Islam, sistim
Hukum Waris Adat dan sistim Hukum Waris KUHPerdata, maka dalam membahas sistim
hukum waris KUHPerdata perlu diketahui juga tentang politik hukum hindia
belanda mengenai penggolongan penduduk yang diatur dalam Pasal 131 juncto Pasal
163 Indische Straatsregeling ( IS ), karena berdasarkan ketentuan tersebut,
KUHPerdata berlaku bagi :
1.
Orang – orang Belanda ;
2.
Orang –orang Eropa yang lain ;
3. Orang
Jepang dan orang lain yang tidak termasuk dalam kelompok 1 dan 2 yang tunduk pada
hukum yang mempunyai asas – asas hukum keluarga yang sama
4. Orang
– orang yang lahir di Indonesia, yang sah ataupun diakui secara sah dan
keturunan lebih lanjut dari orang – orang yang termasuk kelompok 2 dan 3.
Selanjutnya
berdasarkan Staatsblaad 1917 No.129, bagi golongan Tionghoa berlaku
seluruh Hukum Perdata, dengan sedikit kekecualian. ( terhitung sejak
tanggal 1 Mei 1919 bagi golongan Tionghoa untuk daerah – daerah tertentu
berlaku Hukum Perdata Barat, termasuk didalamnya Hukum waris), Staatsblaad 1924
No.557, Berlaku bagi golongan Tionghoa di seluruh Indonesia ; Staatsblaad
1855 No.79, Hukum Waris Testamentair berlaku bagi golongan Timur
Asing, dan sejak 1 Mei 1919 lembaran Negara ini tidak berlaku lagi bagi
golongan Tionghoa dan diganti dengan dengan Staatsblaad 1917
No.129 ; Staatsblaad 1924 No.556, Hukum Perdata barat dinyatakan berlaku
bagi golongan Timur asing selain Tionghoa, dengan beberapa perkecualian,
diantaranya buku II titel 12 tentang pewarisan karena kematian sebagai
ketentuan yang dikecualikan.[5]
Dengan
demikian, Hukum Waris KUHPerdata tidak semata – mata berlaku bagi seluruh Warga
Negara Indonesia, tapi hanya bagi pihak yang diatur dalam ketentuan – ketentuan
diatas. ( yang notabene merupakan ketentuan peninggalan pemerintah hindia
belanda dengan agenda politiknya ).
Dalam
perkembangan selanjutnya, sebagaimana dicermati oleh Herlien Boediono, telah
terjadi penghapusan golongan sebagaimana dimuat dalam Instruksi Presidium
Kabinet No.31/U/IN/12/1966 pada tanggal 27-12-1966 juncto UU
No.12/2006 tentang Kewaganegaraan Indonesia.
Komentar
Posting Komentar