Ketentuan
Umum Pewarisan dalam KUHPerdata telah menentukan dan mengatur syarat yang harus
dipenuhi agar suatu “ Pewarisan “dapat terjadi, yaitu hanya apabila memenuhi
ketentuan sebagai berikut :
1.
Ada Orang yang
meninggal dunia / ada kematian (Pasal 830 KUHPerdata)
2. Ada ahli waris
yang ditinggalkan / Ahli waris ada pada saat Pewaris meninggal dunia ( Pasal
836 KUHPerdata)
Berkaitan dengan syarat pertama, yakni ada orang yang meninggal dunia, maka perlu memperhatikan ketentuan yang diatur dalam Pasal 830 KUHPerdata, berbunyi sebagai berikut :
“
Pewarisan hanya
berlangsung karena kematian “
Menurut Albertus Sutjipto, ada dua persoalan yang perlu mendapat perhatian berkenaan dengan “ kematian “ yaitu :
a)
Saat seseorang
dinyatakan meninggal dunia
Code
civil mengenal adanya “kematian perdata” namun KUHPerdata tidak mengenal adanya
“kematian perdata “ sehingga sampai saat ini dalam kacamata hukum waris,
seseorang dinyatakan / dikualifikasikan telah meninggal dunia, jika jantungnya
berhenti berdetak.
b)
Saat seseorang
diduga meninggal dunia ( Vermoedelijk
overleden )
Selain
pewarisan yang disebabkan karena adanya kematian alami, dikenal juga adanya
pewarisan secara bersyarat, yaitu dalam hal seseorang diduga meninggal dunia,
contoh : pada saat pesawat jatuh, pesawatnya hilang, orangnya dianggap telah
meninggal.
Dalam peristiwa ini (Vermoedelijk overleden ) maka terjadi pewarisan secara bersyarat dan sementara. Syaratnya adalah apabila pewaris yang diduga meninggal dunia ternyata masih hidup, maka harta tersebut harus dikembalikan kepadanya. Keluarga dari orang yang diduga meninggal dunia ( Pewaris) dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan agar pengadilan menyatakan pewaris diduga meninggal dunia, sehingga harta yang ditinggalkan dapat beralih kepada ahli waris dari pewaris yang diduga meninggal tersebut.
Berkenaan dengan syarat yang kedua, yaitu ada ahli waris yang ditinggalkan / Ahli waris ada pada saat Pewaris meninggal dunia,
Hal
ini dapat dipahami dengan mencermati ketentuan, sebagai berikut :
Pasal
836 KUHPerdata :
“
Dengan mengingat
akan ketentuan dalam Pasal 2 Kitab ini, supaya dapat bertindak sebagai waris,
seseorang harus telah ada, pada saat warisan jatuh meluang.”
Pasal 2 berbunyi sebagai berikut :
“
Anak yang ada
dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana
juga kepentingan si anak menghendakinya. Mati sewaktu dilahirkannya,
dianggaplah dia tidak pernah ada.”
Sehubungan dengan kedua pasal tersebut diatas, maka seorang janin yang berada didalam kandungan pada saat pewaris meninggal dunia, maka demi hukum harus dianggap telah ada, dengan catatan apabila bayi tersebut dilahirkan dalam keadaan hidup.
[1]
Djaja S.Meliala, Perkembangan Hukum Perdata tentang benda dan hukum perikatan,
Bandung, Nuansa Aulia, 2007, Hlm. 121
Komentar
Posting Komentar